Kamis, 24 Januari 2008

Kedelai Mahal Bisa Ganggu Konsumsi Protein Masyarakat

Guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Mary Astuti meminta pemerintah mengambil langkah darurat untuk menurunkan harga kedelai. Jika harga kedelai terus tinggi akan berpengaruh buruk pada tingkat konsumsi protein masyarakat.

"Berbeda dengan Amerika dan Eropa yang menggunakan kedelai sebagai sumber energi, tetapi di Indonesia masih menjadi bahan makanan. Bahkan pasokan utama protein masyarakat kita masih dari kacang-kacangan, khususnya kedelai, yang mempunyai kandungan protein sekitar 30," kata Mary, Selasa (15/1).

Menurutnya, tempe dan tahu harus diakui masih menjadi makanan penting bagi masyarakat kalangan bawah. Dengan kondisi tingginya harga seperti sekarang ini, tentu akan menjadikan pemenuhan protein menjadi terganggu.

"Memang tidak akan seburuk yang dibayangkan seperti sampai pada gizi buruk. Tetapi setidaknya akan mengganggu pada daya tahan tubuh, khususnya pada anak-anak," katanya.

Untuk itu, Mary mendesak pemerintah segera mengambil langkah cepat untuk menurunkan harga kedelai. Bahkan kalau perlu pemerintah melakukan impor langsung dan tidak mengandalkan eksportir swasta.

"Dalam pengamatan saya, sejak kedelai dilepas ke pasar dan tidak menjadi komoditi yang dikendalikan Bulog, sejak 2005 harga kedelai terus naik.

Padahal di China saja, harga kedelai di pasaran cuma sekitar Rp1.200 saja per kilogramnya," tambah Mary.

Namun Mary juga melihat, sebenarnya kondisi di Indonesia juga tidak lepas dari tekanan negara-negara penghasil kedelai yang menginginkan Indonesia tetap menjadi pasar mereka. Program pemerintah untuk melakukan swasembada kedelai pada 2010 dinilai negara penghasil kedelai sebagai suatu yang tidak menguntungkan hingga harus diganggu.

Mary juga membantah jika kenaikan harga kedelai sekarang ini membawa keuntungan bagi petani. Menurutnya, saat ini hampir tidak ada petani yang panen kedelai dan stok di tingkat petani sudah habis terjual pada Oktober lalu. "Sebenarnya yang untung ya pedagang itu sendiri," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah dinilai juga tidak sigap dalam mengkontrol program swasembada tersebut. Hal ini terlihat dengan lemahnya implementasi, serta pengawasan di lapangan. Salah satunya terlihat tidak ada upaya penambahan lahan kedelai yang saat ini baru sekitar 700 ribu hektar dan kebanyakan ada di pulau Jawa. Padahal untuk memenuhi swasembada setidaknya dibutuhkan lahan hingga 1,7 juta hektar. (AZ/OL-2)